Senin, 30 Maret 2009

Pura Ulun Danu Batur

Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur

kamis (09/4) , bertepatan dengan pemilu adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.

Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.

Zaman Bahari

Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.

'Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,' demikian sabda Hyang Pasupati. 'Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,' jawab ketiga putranya. 'Nanda jangan khawatir,' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.

Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.

Purana Tatwa Batur

Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.

Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. 'Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?'

'Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda'. 'Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.'

Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. 'Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?'.

'Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda'. 'Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang'.

'Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?'. 'Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci'. 'Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, 'Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?'. 'Hamba juga minta air suci'. 'Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.'

'Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?'. 'Nanda minta balai agung'. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya 'ah-ah, ah', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: 'Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang'. Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. 'Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak'. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, 'Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin'. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.

Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, 'Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini'.

Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur 'gunung yang mendapat sinar matahari secara merata'.

Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

Jro Mangku I Ketut Riana


Minggu, 29 Maret 2009

Usada ( Pengobatan)

Usada atau pengobatan secara tradisional pada orang yang terkena penyakit non medis dan medis yang pengobatannya secara tradisional
  1. Unsur guna dalam ramuan obat menurut Ayurveda.
Unsur Guna dalam Ramuan Obat

Menurut Ayurveda
Oleh: Ngurah Nala (Universitas Hindu Indonesia)

Kata guna yang terdapat di dalam kitab Ayurveda, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya atau padanan katanya dalam bahasa Indonesia bukanlah manfaat atau faedah. Walaupun kurang tepat, tetapi para ahli Ayurveda lebih cenderung mengartikan kata guna sebagai sifat atau kualitas prinsip yang terdapat di dalam ramuan atau yang dikandung oleh suatu ramuan. Berdasarkan atas guna yang terdapat di dalamnya, ada yang membagi ramuan obat berdasarkan atas banyak sedikitnya unsur guna atau sifat yang dikandungnya. Menurut pembagian ini ramuan obat dibagi atas 20 kategori. Kedua puluh ramuan obat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Guru
Rambuan obat yang memiliki guru guna, bersifat kental dan berat. Dalam ramuan ini ada dua unsur panca maha bhuta yang dominan keberadaannya, yakni unsur perthiwi (bumi, zat padat) dan apah (air, zat cair). Karena mengandung kedua unsur bhuta inilah yang menyebabkan ramuan tersebut memiliki sifat kental dan berat. Ramuan ini berkhasiat meningkatkan unsur tri dosha kapha (air, cairan). Tetapi menurunkan unsur vatta (udara, gas) dan pitta (panas, metabolisme) yang ada di dalam tubuh.

2. Laghu
Ramuan obat yang mengandung laghu guna, bersifat encer dan ringan.
Ramuan ini didominasi oleh tiga unsur bhuta, yakni unsur teja (api, panas), vayu (udara, gas) dan akasa (kosong). Dapat meningkatkan unsur tri dosha vatta (udara) dan pitta (panas), dengan sendirinya juga menaikkan pengeluaran agni (enzim). Tetapi menurunkan unsur kapha (air).

3. Sita
Ramuan obat yang mengandung sita guna (sitha) ini bersifat dingin. Bahan ramuannya didominasi hanya oleh satu unsur bhuta, yaitu unsur apah (air). Ramuan obat ini dapat dipergunakan untuk menaikkan jumlah unsur tri dosha vatta (udara, gas) dan kapha (zat cair), tetapi sebaliknya menurunkan unsur pitta (panas).

4. Usna
Ramuan obat yang mengandung usna guna ini bersifat panas. Unsur bhuta yang terbanyak berada di dalam ramuan ini hanya satu, ialah unsur teja (panas). Dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan unsur tri dosha pitta (panas), dan agni (api) serta enzim dalam tubuh.

5. Snigdha
Ramuan obat yang mengandung snigdha guna ini bersifat lembut, berminyak. Ramuan ini hanya didominasi oleh satu unsur bhuta, yaitu unsur apah (air). Berfungsi untuk menaikkan unsur tri dosha pitta (panas) dan kapha (air) dalam tubuh. Tetapi sebaliknya dapat menurunkan unsur vatta (udara) dan agni (panas, enzim).

6. Ruksha
Ramuan obat yang mengandung ruksha guna. ini bersifat kenyal, tidak lembut, tidak berminyak, kering. Bahan ramuan ini didominasi oleh tiga unsur bhuta, yakni unsur perthiwi (bumi, tanah), teja (panas) dan vayu (udara). Ramuan ini bermanfaat untuk meningkatkan unsur tri dosha vatta (udara) dan agni (enzim). Tetapi menurunkan unsur kapha (air) dan pitta (api, panas).

7. Manda
Ramuan yang mengandung manda guna ini bersifat hambar dan lembut. Bahannya didominasi oleh dua unsur bhuta, ialah unsur perthiwi (bumi, tanah) dan apah (air). Dapat dipergunakan untuk menaikkan unsur tri dosha kapha (air) dalam tubuh. Tetapi menurunkan unsur vatta (gas) dan pitta (api, panas).

8. Tikshna
Ramuan obat yang mengandung tikshna guna memiliki sifat menyengat dan tajam. Bahannya didominasi hanya oleh satu unsur bhutta, yakni unsur teja. Berkhasiat untuk meningkatkan unsur tri dosha vatta dan pitta. Tetapi menurunkan unsur kapha.

9. Sthira
Ramuan obat yang mempunyai sifat sthira guna mempunyai sifat stabil, mantap atau statis. Ramuan, ini bahannya didominasi hanya oleh unsur bhuta saja, yaitu unsur perthiwi (zat padat). Dapat dipergunakan untuk meningkatkan unsur tri dosha kapha. Tetapi menurunkan unsur vatta (gas), pitta (panas) dan agni (enzim).

10. Sara atau Chala
Ramuan obat yang mempunyai sara guna (chala) mudah bergerak, mobil, dinamik dan labil. Bahan ramuan ini didominasi oleh dua unsur bhuta, yakni unsur vayu (udara, gas) dan apah (air). Dapat menaikkan unsur tri dosha vatta, pitta dan agni (enzim). Tetapi menurunkan unsur kapha.

11. Merdu
Ramuan obat yang memiliki merdu guna, bersifat lunak. Bahan ramuannya banyak mengandung dua unsur bhuta, yaitu unsur apah (air) dan akasa (kosong). Berkhasiat meningkatkan unsur tri dosha pitta (panas) dan kapha (cairan). Tetapi menurunkan unsur vatta (gas) dan agni (enzim).

12. Kathina
Ramuan obat yang mempunyai kathina guna bersifat keras. Bahannya didominasi oleh unsur bhuta perthiwi (zat padat). Khasiat ramuan jenis ini dapat meningkatkan unsur tri dosha vatta (gas) dan kapha (cairan). Tetapi menurunkan unsur pitta (panas) dan agni (enzim).

13. Vishada
Ramuan obat yang memiliki vishada guna bersifat tidak berlendir dan tembus pandang (transparan). Bahannya didominasi oleh empat unsur bhuta, yakni unsur perthiwi (zat padat), teja (panas), vayu (udara, gas) dan akasa (hampa, rongga). Ramuan ini dimanfaatkan untuk meningkatkan unsur tri dosha vatta (gas), pitta (panas), dan agni (enzim) di dalam tubuh. Tetapi berefek menurunkan unsur kapha (cairan).

14. Picchila atau Avila
Ramuan obat yang memiliki picchila guna atau avila guna ini bersifat berlendir, berkabut, kabur. Bahannya lebih banyak mengandung unsur apah bhuta (zat cair) dibandingkan dengan unsur bhuta lainnya. Bermanfaat untuk menaikkan unsur tri dosha kapha (cairan) dalam tubuh. Tetapi menurunkan unsur vatta (gas), pitta (panas) dan agni (enzim).

15. Slakshna
Ramuan obat yang memiliki slakshna guna bersifat halus, berlendir. Bahannya didominasi oleh unsur teja bhuta (panas). Dapat menaikkan unsur tn dosha pitta (panas) dan kapha (cairan) dalam tubuh. Tetapi menurunkan unsur vatta (gas) dan agni (enzim).

16. Khara
Ramuan obat yang memiliki khara guna bersifat kesat dan kasar. Unsur vayu (udara, gas) lebih dominari terdapat dalam ramuan ini dibandingkan bhuta lainnya. Ramuan ini dapat dimanfaatkan untuk menaikkan unsur tri dosha vatta (gas) dan agni (enzim) dalam tubuh. Tetapi berefek menurunkan unsur kapha (cairan) dan pitta (panas).

17. Sukshma
Ramuan obat yang mempunyai sukshma guna bersifat halus. Bahannya didominasi oleh tiga unsur bhuta, yaitu unsur teja (panas), vayu (udara, gas) dan akasa (kosong, rongga). Ramuan ini dapat dipergunakan untuk meningkatkan unsur tri dosha vatta (gas), pitta (panas) dan agni (enzim) di dalam tubuh. Tetapi berefek menurunkan unsur kapha (cairan).

18. Sthula
Ramuan obat yang memiliki sthula guna bersifat kasar. Bahannya lebih mengandung unsur perthiwi bhuta (zat padat). Ramuan ini berkhasiat menaikkan unsur tri dosha kapha (cairan). Tetapi berpotensi untuk menurunkan unsur vatta (gas), pitta (panas) dan agni (enzim).

19. Sandra
Ramuan obat yang memiliki sandra guna bersifat padat. Bahan ramuannya didominasi oleh unsur perthiwi bhuta. Karena unsur bhutanya sama, maka khasiat ramuan ini hampir sama dengan ramuan yang mengandung sthula guna, yaitu berfaedah untuk meningkatkan unsur tri dosha kapha (cairan) di dalam tubuh. Tetapi dapat pula menurunkan unsur vatta (gas), pitta (panas) dan agni (enzim).

20. Drava
Ramuan obat yang memiliki drava guna bersifat cair. Bahan ramuannya didominasi hanya oleh unsur bhuta, yakni unsur apah (air). Ramuan ini dapat meningkatkan unsur tri dosha pitta (panas) dan kapha (cairan) dalam tubuh. Tetapi sebaliknya dapat juga menurunkan unsur vatta (gas) dan agni (enzim).

Di dalam kitab Ayurveda tidak dijelaskan bagaimana caranya mengetahui guna yang terkandung di dalam suatu bahan ramuan obat. Sebab suatu bahan ramuan obat yang dikatakan memiliki guru guna (berat) atau laghu guna (ringan), cara mengetahui guna itu tidaklah dengan cara menimbang bahan bersangkutan. Dua bahan dengan jumlah yang sama tetapi yang satu mempunyai berat yang lebih, tidak berarti bahan ramuan yang satu ini memiliki guru guna (berat). Beras yang mempunyai laghu guna (ringan), dan ketan yang memiliki guru guna (berat), tidak berarti bahwa satu kilogram ketan lebih berat dari satu kilogram beras. Tentu ada cara khusus untuk menentukan masalah guna yang dikandung oleh setiap bahan ramuan obat. WHD No. 416 Oktober 2001.
  1. Asthi Bhagna Patah Tulang
  2. Universal atau Keabadian Alami Ayurveda
  3. Lontar Usada Ila(pengobatan penyakit Lepra )
  4. Lontar Usada Buduh( Pengobatan penyakit Gila )
  5. Jihva Pariksha Pemeriksaan Lidah
Semoga Bermanfaat...

Minggu, 22 Maret 2009

Tips and Trik Liburan Di Bali...

Berikut Tips Untuk Kamu" yang pengen liburan ke Bali dengan saku Paspasan....
  1. Tentukan Lokasi yang bakal kamu kunjungi
  2. Cari hotel yang murah.. yang banyak betebaran di Bali....,Kalo memungkinkan nginep ditempat temen... klo ada temen sih....heheheeee
  3. sewa motor buat jalan" karena motor lebih murah dan irit bensin....
  4. gak usah sewa guide, cukup ikuti bule" yang bawa guide karena kita bisa nebeng denger, dan yang terpenting bahasanya kita bisa mengerti....
  5. makan dan minum di pkl aja. dan yang terpenting jauh dari objek wisata....
  6. samarkan identitas kalian bahwa kalian bukan dari Bali....hehehe....
  7. dan yang terpenting bawa identitas kalian karena banyak razia.. salah" dikira maling...haha...
  8. segera pulang kalo duit udah mau habis........
Sekian dulu tips and trik dari aku.. mudah"an bermanfaat....
Canti............... Canti........... Canti........

Ngelawang Dance

Ngelawang Dance
Pada tahun 1992 I Ketut Suteja, dosen STSI Denpasar, menampilkan sebuah garapan tari kontemporer yang diberi nama Ngelawang. Tari ini banyak diilhami oleh tari Barong Ket yang tidak asing lagi bagi masyarakat Bali. Ngelawang (dari kata lawang yang artinya pintu) adalah sebuah istilah dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain, atau dari satu desa ke desa yang lain. Pertunjukan seperti ini biasa dilakukan pada waktu hari - hari raya besar seperti Galungan dan Kuningan. Di tempat-tempat tertentu ngelawang juga diadakan apabila disuatu desa terjadi wabah penyakit.

Dalam garapan ngelawangnya ini Suteja memasukan ide yang kedua ngelawang untuk mengusir roh-roh jahat. Dalam garapan ini juga Suteja memasukan cukup banyak gerak-gerak baru yang penuh vitalitas dan memakai gamelan Balaganjur untuk mengiringi garapan ini. Ngelawang ditarikan oleh 8 orang penari yang terdiri dari 4 orang penari putra dan 4 orang penari putri. Di dalam tarian ini ditampilkan 2 buah barong buntut (hanya bagian depan dari barong ket) dan sebuah punggalan (topeng) barong ket. Oleh karena begitu dominannya bentuk barong di dalam garapan ini, maka garapan ini juga disebut sebagai "Barong Ngelawang".

Sejak tahun 1992 para pencipta tari di Bali telah berhasil menciptakan beberapa karya penting walaupun pementasannya mungkin hanya dilakukan satu kali. Di antara garapan - garapan tari Kontemporer yang dimaksud adalah Cak Seni Rupa Lata Mahosadhi (1995) dan Ruwatan Bumi (1997), kedua hasil karya Nyoman Erawan, dan Ram-wana : ketika Rama menjadi Rahwana (1999) karya I Wayan Dibia. Garapan-garapan ini menawarkan beberapa hal baru yang terlihat dalam tema, elemen pertunjukannya dan tata pementasannya. Cak Seni Rupa Erawan menyajikan tafsiran baru terhadap kisah Lata Mahosadhi dan permainan warna-warna cair. Ruwatan Bumi menawarkan tema ruwatan diri yang dilakukan terhadap penciptanya sendiri (Erawan) yang digundul dalam pertunjukan ini. Ram-wana menawarkan interpretasi baru terhadap kisah Ramayana yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik pada tahun 1999. Dalam karya Erawan dan Dibia ini dilibatkan pembacaan puisi dan seni rupa instalasi di alam terbuka. Namun sekarang Ngelawang sering dibawakan oleh anak anak yang diarak keliling desa.

Minggu, 15 Maret 2009

Ogoh...Ogoh

Ogoh ogoh adalah sebuah boneka raksasa yang berwujud raksasa atau pun bhutekala....kali... yang dibuat berdasarkan seni patung.Dalam ajaran Hindu Dharma Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.


Dalam pungsinya Ogoh-Ogoh sebagai perwujudan Bhuta Kala, dibuat menjelang hari raya Nyepi(Penyepen) dan di arak beramai ramai diiringi tabuh beleganjur pada saat pengerupukan yaitu sehari sebelum hari raya Nyepi. Ogoh-Ogoh diarak mengelilingi desa untuk meminimalisir pengaruh roh jahat yang ada dalam diri dan lingkungan sekitar kita...

Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.

Peta Melasti Panca Bali Krama

Peta melasti Panca Bali Krama

Kisah Semut Api Pura Pucak Geni


Kisah Semut Api Pura Pucak Geni

Sejak ditemukan pertama kali tahun 1906, pura ini selalu padat penangkilan . Tak hanya masyarakat umum, tiada jarang pejabat tinggi bersujud suntuk di hadapan Ida Batara Pura Luhur Pucak Geni. Apa hubungannya dengan semut api?


Sebuah mobil sarat penumpang terlihat menaiki jalan menuju Pura Luhur Pucak Geni, Banjar Seribupati, Desa Cau Belayu, Kecamatan Marga,
Kabupaten Tabanan. Tiba di halaman paling lura pura, setelah kendaraan berhenti sekelompok orang berbusana adat Bali keluar dari pintu samping. Usai menurunkan sesaji mereka langsung menuju bale pasandekan yang berada di sisi timur jaba tengah. Pohon pule besar nan menjulang tinggi yang digoyang desiran angin, seakan tersenyum girang menyapa orang-orang baru datang itu. “ Ngiring malinggih dumum (silakan duduk dulu),” seorang lelaki tua berbusana serba putih berkata dan disambut anggukan oleh warga tadi.
Selasa Keliwon medio Pebruari lalu, memang banyak orang melakukan panangkilan ke Pura Pucak Geni. “Sudah menjadi tradisi di sini, saat hari rerainan gumi (hari suci jagat), maka orang akan datang. Malah ” urai Jero Mangku Anyar Pura Luhur Pucak Geni, Nyoman Genting. Apalagi saat hari rarainan jagat, Jero Dasaran dan Jero Mangku Anyar mesti bersiap di pura sehari penuh.
Bagi yang tangkil ke tempat suci ini ada beberapa jalur yang bisa dilalui. Jika menempuh jalur barat (jalan raya Denpasar–Bedugul), setelah sampai di Desa Sembung, Kecamatan Mengwi, tepatnya sebelum pasar Sembung berbelok ke kanan menuju Desa Cau Belayu. Tiba di perempatan Cau Belayu belok ke kiri. Kurang lebih 200 meter ada pertigaan menuju jalan ke Banjar Seribupati.
Apabila mengambil jalur timur (jalan raya Denpasar–Petang, Badung), begitu sampai di pasar Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal berbelok ke kiri, mengambil jurusan ke Desa Ayunan (masih wilayah Kecamatan Abiansemal). Tiba di Ayunan lurus ke utara menuju Cau Belayu . Tiba di Cau Belayu cari pertigaan jalan menuju Pura Luhur Pucak Geni di Banjar Seribupati.
Pura Pucak Geni memang kerap dipadati pemeluk Hindu di Bali, sekalipun dari sisi sejarah sejatinya tiada banyak yang bisa terungkapkan. Tinggalan yang ada tak teramat banyak. Hanya ada batu dan pohon pule yang di bagian bawahnya kini ada semacam lubang selalu keluar air, tempat orang-orang umumnya melakukan panglukatan (ruwatan dalam bahasa Jawa).
Entah apa yang menjadi alasan hingga pura ini kerap dikunjungi warga. Dari sudut sejarah, sesuai pengakuan seorang warga Seribupati, Gede Oka Antara mengakui, tiada bukti otentik yang dapat dijadikan tonggak awal pendirian yang hari piodalan jatuh pada Buda Cemeng Kelawu ini.
Kalau toh ada, bukti yang tersiar di masyarakat lebih banyak berdasarkan cerita mitos warisan para moyang Seribupati. Seperti yang cerita yang didapat seorang sesepuh, I Ketut Tantra. Pamangku Pura Dalem Purwa Desa Pakraman Seribupati ini berkisah, bahwa tahun 1906, penguasa Kerajaan Belayu, Kecamatan Marga, I Gusti Gede Oka, sempat datang bersama ratusan abdi dari berbagai desa, seperti warga Desa Jadi, Belayu, Kuwum, Kukuh, dan Telanbawak, ke sebelah timur wilayah kekuasaannya.
Kawasan yang dituju masih berupa hutan perawan yang ditumbuhi semak serta pepohonan besar. Rombongan Kerajaan Belayu tersebut hendak memperluas wilayah tempat tinggal warga yang berada di bawah kekuasaannya.
Bagai kisah perjalanan Rsi Markandeya, Mpu dari Jawa Timur, saat pertama kali mengadakan perabasan hutan di Besakih, kedatangan Raja Belayu bersama pasukan pertama kali ke hutan dimaksud ternyata gagal mengadakan pembabatan hutan. Para pengikutnya tiba-tiba terserang semut api (semut merah) cukup banyak hingga tak sanggup lagi menunaikan tugas-tugasnya. Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, Raja Belayu memerintahkan para warga kembali lagi ke desa masing-masing.
Menyerah? Belum ternyata, penguasa Puri Belayu kembali datang ke alas tadi. Kedatangan yang kedua kali juga disertai pengikut cukup banyak. Di antara pengikut itu bernama I Wayan Ngiring alias Pan Kayun,---Pan Kayun kelak jadi kakek dari Jero Mangku Dalem Purwa.
Sesuai rencana yakni membuka kembali lahan baru, maka perabasan pun dilakukan. Kali ini memang berhasil, tak lagi ada semut merah yang mengganggu.
Tiba di satu tempat yang cukup tinggi para perabas hutan dikejutkan oleh penemuan benda berupa batu yang bertumpuk. Sedangkan di sekitarnya tumbuh pohon andong bang (merah) dan kayu pule cukup besar. Orang-orang yang hadir saat itu, termasuk kakek Jero Mangku Dalem Purwa meyakini lokasi tadi merupakan tempat suci. Mereka tak berani mengganggu. Sebaliknya, di tempat itu kemudian didirikan sanggar agung sebagai tanda tempat suci. Kawasan suci itulah kemudian disebut Pura Hyang Api. Nama Hyang Api muncul, mengingat pertama kali pasukan Belayu datang dan hendak mengadakan perabasan hutan, ternyata diserang semut api.
Pasca perluasan lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, mulailah orang-orang menempati wilayah yang kelak dinamakan Desa Adat Seribupati. Saban waktu mereka hadir ke Pura Hyang Api memohon karahayuan dan keselamatan. “Itulah cerita yang saya tami (wariskan) sampai kini,” lanjut Jero Mangku Tantra.
Setelah mendekati setengah abad, sekitar tahun 1950-an, nama Hyang Api diganti menjadi Pura Luhur Pucak Geni. Pergantian dilakukan berdasarkan atas pamuus Ida Batara yang disampaikan langsung oleh Jero Dasaran.
Mangku Tantra pun warga pangempon Pura Hyang Api yang berasal dari tiga banjar, Banjar Seribupati, Padangaling, dan Babakan, tiada banyak bertanya sehubungan dengan pergantian tersebut. Mengingat semua itu titah dari Ida Batara, maka sejak saat itu nama Hyang Api diganti jadi Pucak Geni. ”Sampai sekarang orang-orang lebih lumrah mengenal pura ini sebagai Pura Luhur Pucak Geni,” Mangku Tantra mempertegas.
Nama boleh berganti, toh itu tak menyurutkan bakti warga yang tangkil ke pura bersatus dangkahyangan ini—status dangkahyangan disematkan pada Pura Luhur Pucak Geni karena pangempon lebih dari satu banjar dan yang datang tangkil juga dari berbagai daerah di Bali—tiada pernah surut. Lebih-lebih pada hari rarainan gumi (hari suci jagat), seperti Keliwon, Purnama, Tilem, dan hari suci lain, masyarakat Hindu seakan berlomba mendatangi tempat ini.
Ditambah lagi pada saat tertentu, menjelang suksesi kepemimpinan atau kegiatan pemilu misalkan, tak jarang pamangku dan pangayah mesti rela begadang hingga larut malam. Menunggu mereka yang hendak tangkil di malam hari. “Beberapa palinggih di pura ini juga ada disumbangkan oleh petinggi di daerah ini,” Pamangku Anyar Pura Pucak Geni, I Nyoman Genting menambahkan.
Rohaniwan ini tiada tahu pasti apakah persembahan tersebut sebagai wujud tanda bakti atas berkah yang diterima atau ada tujuan lain, membayar kaul setelah sukses meraih yang diinginkan, misalkan. Namun, dia tetap berpikiran positif, bahwa segala yang dihaturkan ke pura itu berdasarkan ketulusan.
Lumrahnya tempat suci di Bali, Pura Luhur Puncak Geni juga terbagi dalam tiga mandala (bagian). Di areal jaba (paling luar) sehari-hari dimanfaatkan untuk parkir bagi pamedek (warga yang hendak pergi ke pura). Ketika upacara besar banyak dibangun rompok oleh para pedagang.
Pada jaba tengah ada beberapa palinggih. Di ujung timur laut tepatnya di bawah pohon pule terdapat padmasana sebagai stana Ratu Gede Jaksa yang diyakini warga sebagai penjaga di pura luhur ini. Bagi orang-orang yang hendak sembahyang, sebelumnya mesti melapor di palinggih ini. Pun saat hendak berpamitan juga mohon diri dari Ida Ratu Gede Jaksa.
Sedangkan di pohon pule berstana Ratu Gede Siwa Sangkara. Kemudian ada palinggih apit lawang yang di sebelah Barat (kanan) sebagai stana Mahakala dan di kiri (timur) stana Adikala. Di kori agung merupakan stana Sanghyang Kala. ”Pohon pule ini juga sering dimohon warga dari beberapa desa untuk dijadikan punggalan atau prarai (kepala) dari sasuhunan barong atau rangda,” sebut Jero Mangku Tantra. Sebagai bentuk rasa ikatan dengan Ida Batara di Pura Pucak Geni, bagi warga desa yang memohon kayu pule untuk barong, maka pada upacara setahun sekali, pada Buda Cemeng Kelawu, umumnya warga dari desa bersangkutan akan ke tempat suci ini.
Berikutnya, di areal jeroan (paling dalam) palinggih berderet dari timur hingga ke utara. Pada deret timur, paling ujung selatan ada palinggih sebagai stana Ratu Ngurah, di utarabnya ada gedong tempat menstanakan lingga yoni.
Lingga yoni atau dalam bahasa sederhana masyarakat Bali kuno disebut pula dengan nama celak kontol lugeng luwih , tiada lain merupakan simbol dari kesuburan. Dari simbol inilah diharapkan tercipta kesejahteraan, kesuksesan di masyarakat.
Di sebelah palinggih Lingga Yoni terdapat meru tumpang (tingkat) lima yang menjadi stana penguasa atau palinggih pusat dari pura ini, yakni Ida Ratu Luhur Pucak Geni.
Di samping palinggih tadi, pada deret utara ada meru tingkat tujuh tempat pangayatan (perwakilan) Ida Batara di Pura Pucak Padangdawa, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Di baratnya terdapat gedong stana Ratu Mas Lingsir. Di sinilah orang yang mengalami sakit akan memohon kesembuhan. I Wayan Sucipta.

Senin, 09 Maret 2009

Rahajeng nyangre..Rahinan Jagat

Rahajeng nyangre rahinan jagat Galungan... Kuningan Lan Nyepi thCaka 1931 broooo. ingetang me bakti lan the bekan makan lawar barak nyan kebus basange....hehe....

Gong

Gong adalah alat musik yang biasanya di tabuh dalam acara Yadnya di bali.
gong santai:
Ampurayang kidik.........

Minggu, 01 Maret 2009

Rindik





Tukang Tabuh... DEK NO"










Rindik
adalah seperangkat alat musik yang menggunakan bambu sebagai bahanbaku utama.Rindik terdiri dari sebelas nada dan sering diiringi dengan suling sebagai pemanis gambelan atau tabuh tersebut. Rindik secara umum dikenal di seluruh Bali dan sering didengarkan atau dipentaskan pada saat ada upacara manusia yadnya.
Musik Rindik